This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 22 Juni 2020

Cerpen | Tahukah Tuan, ke Arah Mana Jalan Pulang?




Wanita muda itu mendadak telah ada di muka hidung saja. Ya, demikian dekat. Seperti orang dengan daya pandangan benar-benar terbatas. Nyaris 10 menit dia bertingkah semacam itu. Saya bingung, risih, serta cukup geram.

Belum 30 menit saya duduk di kursi panjang taman kota yang teduh itu. Saya senang membaca novel dimanapun yang situasinya nyaman untuk isi hari libur saya. Masalah tetap ada-ada saja, serta sekarang kukira seorang wanita stress.

Pada akhirnya tidak tahan saya tidak untuk menanyakan.

"Nyonya? Apa ada yang keliru dengan muka serta performa saya?"

"Saya bukan nyonya, tetapi Nona. Panggil saya Nona Ana...."

"Ah, masih bertahan belum menikah ternyata Nona. Namamu seperti judul lagu lama."

"Bukan. Judul film....!"

"Anastasia?"

"Salah. Lusiana."

"Nama satu negara sisi Amerika Serikat?"

"Lousiana? Bukan. Saya tidak senang isi rubrik teka-teki silang. Saya lihat muka Tuan baik-baik saja. Tidak ada kerut serta gurat dari waktu dulu yang susah. Saya pikir Tuan cocok untuk menjawab pertanyaan saya. Itu juga jika Tuan sudi!"

"Menanyakan?"

"Ya. Satu pertanyaan. Semoga jawab yang Tuan punya memberi kepuasan rasa ingin tahu saya....!"

Dia tidak melanjutkan bicara karena saya melihat ke lain tempat. Memutar otak tidak untuk terganggu, serta pergi. Saya cemas wanita mencarinya permasalahan, lalu memerah atau menipu. Atau, paling kronis dengan beberapa alasan meminta saya menikahinya.

Meraup Untung Besar Dari Taruhan Bola Online

Wanita itu berubah sampai kembali lagi pas di muka saya.

"Siapa nama Tuan?"

"Jalinus. Tuan Jalinus. Cepatlah kemukakan pertanyaanmu, Nona Ana...!"

Dia tidak menjawab, tapi menarik lengan saya. Semakin persisnya menyeret supaya ikuti jalannya. Saya tidak pernah bicara lagi. Kami telusuri trotoar pusat kota. Berjalan beberapa waktu. Lalu melalui pintu kaca, serta masuk dalam satu restoran Korea.

"Halal 'kan?" bertanya saya.

Dia stop mengambil langkah serta menerangkan. "Halal. Ada rekomendari dari majelis ulama. Saya berlangganan restoran ini. Masakannya enak, situasinya sejuk serta nyaman. Kita bica terlibat perbincangan panjang di sini. Saya yang bayar, jangan cemas. Saya cuma ingin Tuan Jalinus menjawab. Kemudian kita berpisah, serta kemungkinan tidak berjumpa lagi."

Saya mengangguk. Serta tersenyum saja. Dia terlihat senang karena lihat saya tidak tergesa-gesa ingin pergi.

Kami memperoleh meja di dekat jendela. Pamandangan ke taman hijau serta beberapa macam kembang berada di sana. Sejuk memang situasinya. Aroma masakan meningkahi harum minyak wangi. Serta mendadak saya menyesal sudah lupakan suatu hal. Ya, gigi palsu saya ketinggalan di dalam rumah. Saya memikir untuk pesan makanan tak perlu berat-berat kunyah.

Nona Ana pesan beberapa makanan. Saya pesan lainnya.

"Sekalian menanti makanan tersaji, dengarkan pertanyaan saya, Tuan. Bertanya simpel saja. Serta semoga Tuan Jalinus tidak picik untuk dengan pas menjawabnya... "

"Tanyakanlah..."

"Tahukah Tuan dengan cara tepat, mengarah mana jalan pulang?"

Saya tersengang oleh pertanyaan itu. Pertanyaan tenang arah, atau sebatas jalan pulang ke rumah. Tapi juga bisa pulang ke alam lain. 

"Kenapa Nona ajukan peranyaan semacam itu?"

"Mengapa? Sulitkah?" desaknya dengan suara cukup keras.

Saya ingin berbaik kira. Tetapi mustahil. Saya malah semakin percaya wanita di muka saya ini seperti orang putus-asa. Dia akan lakukan satu aksi jelek, serta ingin ajak seseorang untuk bertanggung jawab tindakannya.

"Jawablah, Tuan, apa jawabnya menurutmu. Satu minggu lalu suami saya jatuhkan talak tiga. Saya tidak paham apa kekeliruan saya. Kesetiaan serta pengorbanan saya buatnya tidak dihargai. Dia pilih pergi dengan wanita lain. kemudian dia mencari dikarenakan sampai membuat saya benar-benar geram. Kemarin. ...." katanya dengan suara 1/2 terisak.

"Suami?" hebat saya cukup bingung. "Jadi Nona telah bertemumi? Lalu untuk apa panggilan Nona di muka nama Ana?"

Dia menggelengkan kepalanya. Tidak menjawab.
Share:

Cerpen | Weton, Primbon, dan Lampu Merah




"Pah, jodoh, rezeki, hidup serta mati itu kan Allah yang mengetahui. Allah yang ngatur. Semua di tangan Allah," dengus sang Otong jengkel sekalian berlalu tinggalkan Papahnya.

Maklum, sang Otong telah mencapai umur 30 up masih hidup membujang. Jika kata anak zaman saat ini mah namanya jones. Demikian beberapa temannya seringkali mengejek.

"Tong, Papah pengennya kamu lancar sejahtera jika memiliki keluarga. Karena itu Papah memberi alasan, memberi hitung-hitungan bagusnya" tutur Pak Kadrun, alias Papahnya Otong, 1/2 berteriak sebab ditinggal demikian saja oleh Otong saat terlibat perbincangan.

Tidak mengerti menurut Otong, zaman telah kekinian ini tetapi masih yakin hal mitos kejawen jenis itu. Jelas saja memikir demikian, sebab Otong ialah didikan zaman saat ini yang bertitel sarjana dari universitas negeri yang cukup terkenal. Untuknya, hal semacam itu tidak lebih dari pada takhayul. Yang Otong tidak mengerti , Mamah Papahnya termasuk juga orang yang rajin sembahyang mengaji, tetapi masih yakin hitung-hitungan weton serta primbon.

Lagian, salah Otong sich hari gini baru grusa-grusu cari pendamping. Kemarin-kemarin ke mana saja Tong? Rekan-rekan sekolah, universitas seringkali mencomblangi sang Otong dengan kawan perempuannya. Tetapi tidak ada yang digubrisnya. Teman dekat-sahabatnya kadang berasa prihatin, cemas kalau-kalau sang Otong ini tidak menyenangi wanita.
Baru belakangan ini ternyata sang Otong pikirkan waktu depannya. Waktu ingin sebatang kara, pikirnya. Awalilah dia perkenalkan rekan wanita yang ditaksirnya. Tentunya, Mamah Papahnya senang untuk lihat anak semata-mata wayangnya mulai memikir mengarah sana.

"Tong, jika dapat kamu cari pendamping yang lahirnya hari Senin atau Selasa. Jangan hari Rabu atau Kamis, sebab kamu lahirnya hari Sabtu, takut dapat nahas serta tidak bahagia rumah tangganya" demikian tutur Papahnya satu hari.

Tidak ayal, sang Otong snewen sebab dia paham jika idola hatinya lahir hari Kamis.

"Tetapi kan Pah, semua hari itu harusnya baik. Tidak ada hari jelek" sergah Otong waktu melihat Papahnya berdiri di pintu kamar.

"Benar Tong. Tetapi berdasar primbon atau penghitungan Jawa, itu kurang cocok. Justru dapat sampai nahas. Papah tidak ingin kelak jadi percuma serta menyesal. Mumpung belum telat" Pak Kadrun menerangkan.

"Terserah Papah saja lah!" Otong berlalu pergi.

"Eh, ingin ke mana kamu Tong? Papah belum usai bercakap".

"Ingin cari cewe di tepi jalan Pah, mungkin saja ada yang lahir hari Senin atau Selasa. Kelak Otong sensus dahulu" jawab Otong asal.

Ia ambil jaket, helm serta kunci motor. Selekasnya bergegas menerobos jalanan yang lengang. Ke mana lagi perginya jika bukan ke rumah kakeknya, Mbah Bejo.

Mbah Bejo ini meskipun berpedoman adat Jawa, tetapi buat Otong dapat semakin terbuka. Tidak saklek jenis orang tuanya.

"Lho, ada apakah kamu Tong? Kok muka kaya kertas hasil ujian yang dapet nilai merah, dikruwes-kruwes" bertanya Mbah Bejo yang tengah duduk selonjor di bangku malas yang bergoyang-goyang.

"Jengkel sama Papah" jawabnya singkat.

"Haha... Kamu ini, bapak sendiri kok disebelin. Durhaka"

"Waktu saya tidak bisa nikah dengan Markonah dikarenakan lahirnya hari Kamis? Tuturnya tidak cocok hitungan wetonnya" sharing Otong pada Mbahnya.

"Owalaah Tooong... Tong... Jadi itu toh permasalahannya?"

"Harusnya semua hari itu kan baik ya? Waktu ada orang lahir hari Sabtu dilarang nikah dengan hari Kamis sebab tidak baik, dapat nahas lah, tidak bahagia lah. Waktu Otong tidak memikirkan wanita, diberi pertanyaanin selalu kapan. Gantian saat ini, justru dilarang-larang. Maunya apa sich?!" Otong nyerocos.

Mbah Bejo cuma senyum manggut-manggut dengar curhatan cucu kecintaannya.
Share:

Love is Absurd




Saya membereskan lembar-lembar kertas makalah serta coretan yang berserak dimejaku, meja yang bersatu dengan bangku. Memasukkan asal di dalam tothbag. Dapat dinyatakan besok-besok tidak akan kusentuh lagi. Mendekati UAS kemungkinan, itu juga jika tidak terburu hilang.

"Fanny." Saya melihat. Riyad yang menyebut sambil mendekatiku.

"Ingin langsung pulang?" tanyanya.

Iyalah, ngapain semakin lama dikampus. Tetapi saya cuma mengangguk saja. 1/2 sebab malas supaya tidak memancing percakapan selanjutnya.

Selekasnya saya bergerak dari bangku serta keluar kelas. Tetapi Riyad mengikutiku. Kubiarkan saja, toh ia tidak mengikutiku sampai kos. Apesnya waktu di parkiran motorku sulit dikeluarkan, terhambat motor-motor lain yang terparkir tidak teratur. Serta you know lah, tanpa ada diharappun ia membantuku.

"Terima kasih." Kataku pada akhirnya serta langsung tancap gas. Di antara ingin hindarinya serta takut terburu hujan. Memang langit musim hujan telah terlihat mendung.

Shit, mengapa harus gini sich 

Coba jika hari itu Riyad tidak mengucap kalimat itu, coba jika kemaren Riyad pilih simpan perasaannya. Tetapi kenyataannya ia sudah terburu ngomong, menjelaskan yang kuingin tetapi yang minimal ingin kudengar tersingkap darinya. Minimal belum saat ini.

Meraup Untung Besar Dari Taruhan Bola Online

Malamnya Riyad telephone berulang-kali tetapi menyengaja tidak kuangkat. Rena, temanku sekamar sampai gemas ingin membanting smartphoneku yang menganggu fokus baper atas drakornya. Rena tahu siapa yang menghubungi serta ia pikirkan saya lagi ada permasalahan sama Riyad. Saya menggeleng waktu ia bertanya ada permasalahan apa. Kenyataannya kami baik-baik saja. Cuma perasaanku saja yang rasa-rasanya ingin hindarinya. Tidak jelas sekali ya?

"Umumnya saja langsung diangkat cocok dering pertama." Tanggapan Rena lagi sekalian masih konsentrasi sama dramanya.

"Lo tahu kan Ren, sejauh ini gue sama Riyad teman dekatan, serta ia itu teman cowok gue yang sangat the best. Tidak aneh-anehlah intinya." Kataku pada akhirnya.

"Trus.. mengapa non?" Kesempatan ini Rena menatapku serius, serta dramanya telah di pause.

"Ia nembak gue beberapa waktu lalu Ren, ia katakan senang sama gue." Reaksi Rena langsung ramai, kelihatannya kalimatku baru saja ialah kejutan yang wow untuk dia. Walau sebenarnya saya feeling bad ngomongnya.

"Apa gue katakan Fan, lo sama Riyad itu pas." Kata Rena berasa menang. Memang ia sejauh ini kompor sekali sama hubunganku dengan Riyad. Serta ia tidak sempat yakin jika hubunganku cuma hanya rekan.

"Malah itu permasalahannya Ren. Waktu jalinan kita ialah rekan saya nyaman sama ia. Tetapi sesudah ia bicarakan masalah perasaan gue kok jadi ingin menjauh, malas begitu jika bertemu ia."

Serta saya berdiskusi panjang masalah ini dengan Rena. Ia katakan saya jangan cepat-cepat menjauh, dapat jadi hatiku perlu waktu untuk terima perkembangan posisi perasaan, dapat jadi kemungkinan memang seharusnya saya serta Riyad mengambil langkah ke jalinan yang semakin dalam serta dapat jadi yang lain. Tetapi pokoknya saya tidak nyaman, saya menampik ada disituasi ini. Ya tidak senang saja intinya.

Walau sebenarnya jika dipikir, apa sich yang kurang dari Riyad. Disaksikan dari bagian manpun ia oke kurasa.

Serta saat saya buka WA, rupanya ada chat dari Riyad. Ia katakan ada dimuka gerbang kosku serta menyuruhku menjumpainya. What! Apa-apaan. Saya sampai speechless serta terdiam untuk sesaat.

"Sudah sana buruan." Tutur Rena yang turut membaca chatnya.

Dengan malas tetapi deg-degan saya mendapatkan jaket serta kerudung, selanjutnya keluar. Kulihat Riyad duduk di atas motornya. Saya mendatanginya dengan banyak sekali sumpah serapah yang siap kulontarkan. Tetapi datang didepannya saya cuma membisu waktu ia menyodorkan kantong plastik yang entahlah berisi apa. Diamku sebab bingung, sebab kukira kita akan beradu mulut lagi kaya kemaren.

"Untuk kamu." Kata Riyad singkat. Saya tahu ia berupaya tidak bicara banyak, kemungkinan.

Saya terima bingkisan itu sekalian menatapnya, mengharap bisa mendapatkan gestur yang bisa kuterjemahkan. Tetapi sayangnya tertutup helm.
Share:

Cerpen | Perjalanan




Saya mulai merasai potongan-potongan narasi yang membekukan kebimbangan hati manusia. Hal yang sangat asing harus kita menempuh supaya keluar dari beberapa hal yang biasa. Saya putuskan untuk turut lakukan perjalanan. Tidak ada hal yang spesial sebab kesemua orang tentu sempat lakukan ini. Sore Sabtu persisnya waktu mentari bersembunyi di balik-balik gedung, saya siap-siap untuk menggendong tas yang berisi buku-buku serta laptop untuk kerjakan beberapa hal yang belum pernah selesai rasa-rasanya. 
Kawin Silang Ayam Pama

Di benakku apakah benar saya akan mengakhiri pekerjaan ini? Saya kencangkan helm serta pastikan tidak lupa dengan hp yang kubutuhkan. Saya tidak sendiri lakukan perjalanan ini, walau dengan sadar jika orang yang sangat ditunggukan hadirnya bukan saya. Tetapi, pagar yang pasti tersentuh oleh tanganku yang kencangkan kunci mengisyaratkan jika ini hari saya lakukan perjalanan. 

Saya mendapatkan tempat yang sangat nyaman dalam versus manusia normal, gedung-gedung yang mempunyai tinggi berlipat ganda dari ukuran tinggiku. Serta semakin tertarik pandangannya dibanding hidangan makanan di atas piring. Tidak kalah semburan jelas yang sama-sama berlomba-lomba menaklukkan mentari yang bertukar bulan serta bintang-bintang di langit. Pandangan lain yang tidak bisa kuhindari ialah pasangan yang nikmati dinginnya udara serta bergandeng di atas satu motor. Lampu merah di persimpangan tidak hentikan ketakjuban akan bangunan-bangunan yang mempunyai latar belakang langit gelap. Mataku tetap tersorot sinar jelas yang silih bertukar, ada motor, mobil, lampu jalan, serta gedung yang memberi signal kemewahan. Saya cukup serius menyikapi kedatangan gedung-gedung itu.

Meraup Untung Besar Dari Taruhan Bola Online

Berasa capek dengan persimpangan yang membuat leherku sedikit tegang. Saya menormalkan tempat kepala semestinya manusia yang duduk serta memandang segalanya sejajar dengan indera penglihat. Bukan satu album atau beberapa foto yang terlewatkan yang sedang kusaksikan. Ini cerita yang membuatku sadar jika ini bukanlah dunia fiksi yang seindah keinginan. Pas di depanku seorang anak lelaki memberikan hormat dengan kardus di peluknya. Apalagi yang berlangsung? Ibu-ibu yang memeluk anak bayinya dalam gendongan berdiri di lampu merah sekalian buka telapak tangan ke pengendara yang lain. Tidak henti beberapa rumah yang menyengaja dibikin untuk berkunjung mungkin saja untuk tinggal di bawah jalan layang ini benar-benar ironis. Miris kekuatannya untuk menuai gitar mengundang gundah yang tidak stop saya pikir. 

Klakson berubah-ubah dari kendaraan yang lain. Kecepatan makin kuat, terkadang sinar sentuh badanku kadang gelap yang membelaiku. Saya masih tidak percaya dengan umur tua yang mendorong-dorong gerobak tanpa ada kenakan alas kaki. Tidak jelas di mataku keriput di mukanya melambatgkan senang atau duka. Cuma di imajinasiku mengharap dia sedang bahagia berjumpa malam sebab waktu gelap tiba semua beberapa pekerja akan kembali pada arah yang sama yakni rumah. Berjumpa dengan sumber pemberi kemampuan serta keberanian hadapi kehidupan yang riil.

Sekali kepalaku melihat ke ujung gedung akan ada gedung-gedung yang lain yang kutemui cemerlang. Kepalaku sejajar dengan situasi pandangan normal akan ada pula fakta yang silih bertukar tidak bisa kuhindari. Angin begitu dingin untuk tembus pori-pori badanku. Sengatan malam semakin damai dengan imajinasi akan masuk dalam gedung-gedung tinggi untuk melepas capek. 

Saya datangkan kakiku ke tanah lihat segala hal yang di depanku untuk situasi kontras dari pandanganku. Setumpuk pekerjaan merengek dipundakku. Ku turunkan ranselku sesaat, tapi tidak ada yang beralih dengan beratnya yang makin memberati pemikiran. Waktunya menghalang imajinasi. Mengusung kepala melihat ke atas semakin sulit daripada memandang dengan cara normal. Kerjakan pekerjaan semakin sulit daripada berasa biasa saja tanpa ada beban. Saya tidak dengan maksud memaksa badan mengakhiri. Tetapi, saya punyai cukup waktu untuk bikin perjalanan waktu mendatang senormal ada di lantai paling tinggi dalam gedung.
Share:

Lukisan Pertama Andi




"Bu, kok belum tidur?" bertanya Andi yang terjaga sebab dengar suara gemuruh mesin jahit ibunya. Dia mengucek-ngucek matanya sekalian menguap lebar. Telah jam 3 pagi tetapi ibunya belum tidur. Si ibu cuma tersenyum. Dia bergerak dari mesin, dekati Andi serta membawanya ke arah kamar tidur.

"Andi tidur saja lebih dulu, ya". kecupnya penuh kasih di kening Andi. Sesudah Andi terlelap dia kembali pada mesin jahit meneruskan jahitannya yang belum usai.

Paginya, Andi lihat ibunya tertidur di bangku mesin jahit. Dia tidak tega menggugah. Pelan-pelan dia ke arah kamar mandi serta bersiap-siap ke sekolah. Usai mandi, semua peralatan sekolahnya telah disediakan. Sarapan juga terhidang. Ibunya bangun serta mempersiapkan semua buatnya.

"Kelak nilai seratus lagi ya, Nak," sebut ibunya sekalian mengambil sepiring nasi goreng.

"Tentu, Bu". Andi mengangguk mantap. Dengan lahap dia menyendok nasi goreng di hadapannya. Nasi goreng pagi itu berasa semakin nikmat dari pagi awalnya.

Buat ibunya, tidak ada yang membuat semakin bahagia kecuali dengar Andi memiliki juara satu tiap semester. Dia ingin anaknya jadi orang pandai. Supaya tidak memiliki nasib seperti ia yang cuma jadi seorang tukang penjahit pakaian. Andi juga tetap belajar dengan serius. Dia tidak mau ibunya sedih. 

Serta sampai saat ini belumlah ada yang dapat menggesernya dari ranking satu. Mimpi terbesarnya ialah menyenangkan si ibu. Sejak kematian ayah, ibunya tetap kerja siang malam menjahit untuk penuhi keperluan hidup mereka. Dia tetap hiba lihat ibunya menjahit sampai larut malam serta kadang sampai tidak tidur sampai pagi.

"Beberapa anak, pekerjaan akhir semester kesenian kalian ialah menggambar. Pekerjaan dikumpul sebelum ujian semester. Kalian bisa menggambar apa. Lukisan yang sangat indah akan ibu berikan hadiah!" tutur bu guru kesenian panjang lebar.

"Iya, Bu!" semua murid serempak menjawab dengan penuh semangat.

Meraup Untung Besar Dari Taruhan Bola Online

Begitupun Andi. Walaupun dia tidak punyai alat menggambar terkecuali sebatang pensil yang seringkali dia pakai untuk menulis, dia tidak putus harapan. Dia tentu dapat membeli. Dia percaya itu.

Satu bulan selanjutnya, dia baru bisa beli perlengkapan menggambar itu dengan uang tabungannya. Saat sedang asyik memilih-milih, dia berpapasan dengan rekan sekelasnya.

"Ini lebih baik, Ndi. Jika gunakan ini kamu akan terasanya pelukis beneran," tutur temannya sekalian terseyum. "Saya saja membeli ini," sambungnya. Andi mengernyitkan kening. Mukanya memberikan kebimbangan.

"Ini untukmu, saya yang bayar," katanya menyodorkan sepaket alat melukis seperti yang dia membeli.

"Tenang, ayahku pelukis. Ia tentu ingin mengajarimu untuk memakainya," katanya memberikan keyakinan. Andi cuma memandang semua beberapa barang yang ditunjukkan temannya. Terakhir ia paham jika semua perlengkapan itu ialah beberapa alat gambar kualitas nomor satu.

Sesudah seringkali belajar, Andi mulai cakap menggambar. Bukan hanya menggambar, rupanya dia punyai talenta melukis. Sebab konsentrasi belajar melukis melukis, dia jarang-jarang mengulang-ulang pelajaran di dalam rumah. 

Perkembangan ini jadi perhatian oleh ibunya. Sampai satu malam ibunya mengatakan, "Andi, menggambar sah-sah saja, tetapi janganlah lupa belajar. Jika kamu tidak belajar, bagaimana dapat juara satu lagi. Percuma ibu banting tulang menjahit siang malam,"

"Tidak kok, Bu. Andi masih belajar tetapi tidak di dalam rumah. sudah semua andi tuntaskan di sekolah," katanya menjelaska supaya si ibu tidak resah.

Malam makin larut. Dia masih tetap dengar gemuruh mesin jahit ibu. Dia melihat keluar. Kadang-kadang dia lihat ibunya menggeliat ke kanan serta ke kiri menggenggam pinggangnya. Hatinya berasa teriris. Ingin sekali rasa-rasanya dia larang ibu tidak menjahit lagi. Tetapi dia tidak dapat melakukan perbuatan apa-apa, dia cuma anak kecil yang masih tetap gantungkan nasib ke orang tuanya.

"Andi janji, Bu. Andi akan giat belajar serta jadi orang yang sukses kelak," janjinya dalam hati.

Pekerjaan kesenian telah dikumpul Andi pas waktu. Ibu guru benar-benar menyenangi lukisannya. Serta dia hampir tidak yakin itu ialah hasil karya Andi. Andi juga kembali lagi giat belajar. Ibunya benar-benar suka lihat perkembangan itu. Waktu buat raport juga datang. Pagi itu, begitu besar keinginannya, dia akan dengar lagi Andi memiliki juara satu seperti tahun kemarin.

"Juara umum kita ialah Andika Putra, siswa kelas lima. Pada anak kami disilahkan maju ke depan untuk terima hadiah serta penghargaan," tutur ibu kepala sekolah penuh semangat disertai tepok tangan yang semarak dari semua guru serta murid.

Ibu Andi terharu. Piagam yang dikalungkan di leher anaknya, membuat dia tidak hentinya mengucapkan syukur di hati. Ingin sekali rasa-rasanya dia langsung memeluk Andi saat itu .
Share:

Ordered List

Sample Text

Definition List

Theme Support